Sahabat dan adik-adik saya yang berhak untuk memutuskan bagi kebahagiaannya,
Saya biasanya positif, tapi saya paling ngeri mendengar seseorang bersedia menikahi orang berkebiasaan buruk, dengan alasan cinta dan keyakinan bahwa orang bisa berubah.
Bukti telah banyak membuktikan kebalikan dari yang diharapkan.
Maka, janganlah memutuskan untuk menjudikan hidup berdasarkan rasa mabuk cinta yang sangat sementara itu.
Lalu, bagaimana jika sudah terlanjur salah?
Cobalah pikirkan yang ini.
Orang yang berani mengkhianati janji suci pernikahannya, pasti karena merasa aman bahwa pasangannya adalah orang yang lemah, yang tidak akan mampu menghukumnya dengan tegas.
Ibu Linna dan saya, selain tidak ada niat untuk berkhianat, masing-masing dari kami tahu pasti bahwa kami tidak akan memaafkan pengkhianatan, apa pun alasannya, walaupun ada anak atau tidak.
Kesabaran memang tidak ada batasnya, tapi pengkhianatan pernikahan adalah masalah pelanggaran kehormatan dan penistaan hak bagi kehidupan yang baik.
Sehingga,
Kita bisa melanjutkan kesabaran dengan pasangan yang mengkhawatirkan, atau melanjutkan kesabaran dalam kemadirian yang lebih bebas memilih.
Jiwa yang dinistai dan tetap memaafkan, adalah jiwa yang sangat mulia karena besarnya keikhlasan dalam mengupayakan perbaikan, sambil mengabaikan adanya kemungkinan baik pada pilihan yang lain.
Jiwa yang dinistai dan memutuskan akhir dari hubungan, tetap bisa memaafkan dan memilih untuk memantaskan diri bagi kehidupan dan belahan jiwa yang lebih baik, sambil menjunjung tinggi hak untuk berbahagia yang dianugerahkan oleh Tuhan.
Maka, adik-adikku yang masih panjang masa depannya,
Putuskanlah yang baik bagimu, atau engkau tak baik bagi siapa pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar